This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Dekan Fakultas Teologi UKIT, Pdt. Dr. Karolina A. Kapahang-Kaunang

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 29 Januari 2009

Pembaruan Gereja, Upaya Menghadirkan Injil dalam Konteks yang terus Berubah*

Injil yang menjadi isi dan spirit gereja di tengah perjalanannya bersama masyarakat dunia adalah nilai yang tak pernah berubah. Yang berubah adalah cara gereja memaknai Injil yang mutlak itu dalam proses sejarah manusia. Yesus yang memproklamirkan Injil, yang nilai dan spiritnya adalah pembebasan, penerimaan, keadilan dan perdamaian, telah sejak dari awal memang memaksudkan bahwa Injil itu dapat mengatasi ruang dan waktu. Injil kemudian tidak hanya relevan – meski pertama dia hadir dalam suatu konteks kebudayaan – dalam satu ruang dan waktu saja.

Gereja pun melakukan itu, meski memang tidak segampang yang dibayangkan. Bahwa dalam perjalanan sejarahnya, pada masa-masa tertentu gereja (secara institusi) telah menjebakkan diri dalam kekuasaan elit yang membuat dia hampir kehilangan spirit pembebasan. Barangkali soal ini misalnya bisa kita runut mulai sejak gereja dijadikan sebagai agama negara oleh Kaisar Konstantinus di sekitaran tahun 300-an. Sampai di jelang abad pertengahan, gereja menjadi dominan dalam urusan benar-salah, politik dan kehidupan sosial peradaban Eropa khususya. Masa ini adalah masa ”kegelapan”, yaitu suatu kondisi di mana manusia harus takluk secara penuh kepada dogma yang dibuat oleh gereja, sehingga kemudian membatasi haknya untuk mengekspresikan kemampuan rasio.

Agustina Jowangkay dalam artikelnya berjudul Reformasi Gereja Dalam Sejarah: Sebuah refleksi teologis, dalam Inspitator edisi Oktober-Desember 2008, mengulas beberapa faktor lahirnya pembaruan pemikiran dalam gereja. Kata Jowangkay, gerakan untuk mengadakan pembaharuan dalam kekristenan Barat telah dimulai sejak abad ke-14 hingga abad ke-17. Usaha-usaha untuk mengadakan reformasi timbul dikalangan gereja sendiri. ”Yang diperjuangkan adalah para rohaniawan berhenti memikirkan status dan uang saja, dan kembali kepada kehidupan yang terarah kepada Allah. Perjuangan ini disertai dengan kritik terhadap hirarki gereja (para pemimpin) dan seringkali dengan menonjolkan peranan kaum awam. Ini antara lain dapat dilihat dalam gerakan Devotio Moderna (=Kasalehan modern) pada abad ke-14,” tulisnya.

Usaha-usaha mereformasi gereja antara lain menurut Jowangkay, dimulai dengan pembaharuan kebudayaan, yang disebut Renaissance (kelahiran kembali, maksudnya kelahiran kembali kebudayaan, khususnya kebudayaan Yunani dan Romawi). Pembaharuan ini, yang berlangsung dari abad ke-14 sampai abad ke-16, mulai di Itali dan dari sana disebarkan ke Perancis, Spanyol, Inggris dan Jerman. Tujuannya adalah untuk menggali sumber-sumber gereja yang ada di gereja kuno, dan lebih luas untuk kembali kepada sumber kebudayaan Kristen yang ada di kebudayaan Yunani dan Romawi.

Renaissance telah memberi sumbangan yang besar bagi lahirnya Reformasi Luther pada tahun 1517. Martin Luther menegaskan usaha pembaruan itu antara lain dengan mencantumkan 95 dalil di pintu Gereja Kastil di Wittenberg, Jerman, 31 Oktober 1517. Reformasi Luthter ini adalah kritik terhadap kekakuan dan kehilangan orientasi gereja. Reformasi ini kemudian melahirkan perubahan yang radikal dalam gereja sendiri. Perubahan itu tidak terutama hanya munculnya Kristen Protestan, tapi dengan adanya kritik ini kemudian menyadarkan gereja atas hakikat kehadirannya di tengah dunia ini.

Selanjutnya, jejak-jejak pembaruan gereja dapat kita juga telusuri pada tema-tema sidang Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD) yang mulai bersidang tahun 1948 di Amsterdam dan terakhir tahun 2006 di Porto Alegre Brasil. Perubahan-perubahan tata politik, sosial dan ekonomi dunia sepanjang sejarah dunia, pada banyak hal telah meransang gereja untuk mendiskusikan dan merumuskan sikap-sikap teologisnya. Mau tak mau, rumusan-rumusan teologis gereja pada akhirnya harus berdialektika dengan perubahan sejarah dunia yang terus terjadi. Dalam konteks Indonesia, pergumulan gereja antara lain didiskusikan secara mendalam oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), yang sebelumnya bernama Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI).

David J. Bosch dalam bukunya, Tranformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Jakarta: BPK, 1999) secara mendalam mengulas tentang sejarah perubahan paradigma misi gereja. Perubahan pergumulan dunia, seperti yang menjadi tesis Bosch dalam bukunya itu, ternyata ikut mempengaruhi gereja dalam merumuskan paradigma misinya. Ini juga menunjukkan kepada kita bahwa gereja ternyata hadir bersama-sama dalam perubahan itu, dan dia selain terus membarui diri, tapi yang terutama adalah visi pembaruan gerakan dan pemikiran keagamaan manusia (dalam hal ini kekristenan).

”Kehidupan hari ini berbeda dari hari kemarin dan sudah pasti akan berbeda dengan hari esok. Namun yang pasti, kejadian hari ini adalah sebab kejadian kemarin. Demikian juga hari esok merupakan akibat hari ini. Itulah proses hidup. Dengan demikian perubahan merupakan konsekuensi absolut dari sebuah proses, sementara proses adalah tahap-tahap perubahan itu sendiri,” demikian ungkap Riane Elean lewat artikelnya berjudul Bahtera Nuh Itu Kandas Di Parlemen: Beberapa Hal Seputar Perubahan Sosial, dalam Inspirator terbitan Oktober-Desember 2008.

Kalimat ini ingin menegaskan kepada kita, betapa perubahan itu adalah sesuatu yang mutlak. Namun, perubahan yang mutlak dalam hampir semua dimensi kehidupan manusia mestinya dituntun oleh satu spirit dan sistem nilai yang absolut juga, yang dalam konteks gereja tentu kita menunjuk itu pada Injil itu sendiri.

Makanya, dalam sejarah kehadiran gereja di tengah arus perubahan itu, model berteologi yang kemudian menjadi alternatif adalah teologi kontekstual. Terutama gereja-gereja di masyarakat Dunia Ketiga rumusan teologis yang tanggap dengan situasi konteks atau teologi kontekstual menjadi pilihan dalam usaha menghadirkan Injil di tengah pergumulan masyarakatnya. ”...teologi kontekstual merupakan sebuah kebutuhan sebab sudah selayaknya Firman Allah dapat dipahami oleh orang percaya sepanjangan zaman menurut konteksnya,” tulis Vera Solung-Loupatty dalam artikelnya berjudul Teologi Kontekstual, Sebuah Kebutuhan, yang dimuat dalam Inspirator edisi Oktober-Desember 2008.

Pembaruan berteologi gereja adalah juga bentuk pembaruan pemikiran dan gerakan gereja dalam memaknai kehadirannya di tengah dunia. Pembaruan tidak sama dengan relativisme. Pembaruan tidak sama dengan penaklukan nilai ortodoksi gereja. Tapi, pembaruan lebih menunjuk pada modernisasi (dari kata Latin, moderna yang berarti ’baru’, ’terkini’ dan ’sekarang’) pemaknaai nilai Injil yang tampak dalam pembaruan cara merespon dan menanggap situasi dan kondisi konteks yang di dalamnya manusia berinteraksi mencari makna hidup. Sebuah pembaruan di dalamnya berisi kritik dan kemajuan. Makanya, gereja dituntut untuk menjadi terdepan dalam sebuah modernisasi. Gereja tidak boleh ketinggalan, dia harus memimpin perubahan itu. (tim Redaksi Majalah Inspirator)

* tulisan ini pernah dimuat pada majalah Inspirator edisi Oktober-Desember 2008

Selasa, 27 Januari 2009

Forum Diskusi

Forum ini memberi kesempatan bagi Anda untuk menyampaikan pendapat atau komentar seputar persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik dan budaya lokal, nasional maupun global yang sementara terjadi. Caranya, klik HALAMAN FORUM DISKUSI kemudian tulis komentar Anda. Untuk mempermudah memposting komentar, sebaiknya Anda memilih identitas Anonim kemudian di bagian akhir komentar tulis nama, alamat dan email Anda.

FORUM DISKUSI

Terima kasih.

Minggu, 18 Januari 2009

“Israel-Hamas, Sama-sama Keras”

Dari Diskusi dalam Rangka Perayaan Dies Natalis ke XX Program Pasca Sarjana Teologi UKIT

Talawaan - Konflik Israel-Hamas terus terjadi karena kedua pihak tersebut sama-sama keras, dan tidak ingin menyelesaikan masalah secara damai. Demikian antara lain yang dikatakan oleh Pdt. Dr. Nico Gara, ketika menyampaikan pendapatnya dalam diskusi bertajuk Konflik Israel- Hamas dalam rangka perayaan Dies Natalis ke XX Program Pasca Sarjana Teologi (PPST) UKIT di Talawaan – Minahasa Utara, Sabtu (17/09) akhir pekan lalu.

Diskusi yang dipandu Rikson Karundeng ini berlangsung hangat, dan penuh makna. Selain para mahasiwa PPST UKIT yang hadir, undangan lain seperti wartawan Senior Kompas Freddy Roeroe, wartawan Suara Pembaruan dan juga alumni Fakultas Teologi UKIT, Feibe Lumanauw, juga tak ketinggalan memberikan komentar mereka. Pertanyaan menarik diajukan Freddy Roeroe kepada para peserta diskusi. ”Apakah Israel yang disebut-sebut dalam Alkitab, sama dengan Israel yang sedang terlibat konflik sekarang ini?” tanya Roeroe.

Feibe Lumanauw, berpendapat bahwa gereja-gereja di Indonesia perlu memberikan perhatiannya terhadap konflik yang telah memakan ribuan korban jiwa, baik dari pihak Palestina maupun pihak Israel tersebut. ”Konflik ini menurut pendapat saya, bukan konflik agama. Sehingga, Indonesia, terutama gereja-gereja yang ada perlu membangun lobi dengan kedua belah pihak, selain untuk menyampaikan keprihatinan, tapi juga untuk memberikan kontribusi dalam rangka perdamaian di sana,” kata Lumanauw.

Senada dikatakan Denni Pinontoan, mahasiswa PPST yang juga dosen Fakultas Teologi UKIT. Menurutnya, apa yang diperjuangkan oleh Yasser Arafat dengan PLO-nya semata-mata adalah perjuangan Palestina merdeka. ”Ini bukan persoalan antar agama, tapi persoalan tanah. PLO dan Hamas sama-sama memperjuangkan Palestina merdeka, tapi PLO fokus pada negara Palestina merdeka yang nasionalis, sementara barangkali Hamas sangat disemangati oleh pemikiran keagamaan Islam yang bercita-cita mendirikan negara Palestina merdeka yang berdasar pada ideologi Islam,” katanya.

Pdt. Dr. R.A.D. Siwu, PhD, yang juga rektor UKIT mengatakan, dalam konteks Indonesia konflik ini telah beragam reaksi, terutama dari kelompok Islam Fundamentalis. Pendapat-pendapat dari kelompok yang bereaksi tersebut menurut Siwu menggambarkan juga bagaimana masyarakaat kita melihat persoalan ini. ”Dari apa yang diberitakan oleh media, kita dapat melihat bahwa, terutama dari kelompok Islam Fundamentalis telah berusaha menggeser persoalan ini ke masalah agama. Ini menjadi persoalan bagi kita,” tegasnya.

Pdt. Maria Politton-Assa, M.Min, yang ikut berbicara dalam diskusi itu mengatakan, konflik ini adalah akibat permainan politik kotor. ”Politik itu sebenarnya baik, tapi kadang manusia yang membuatnya menjadi tidak baik. Ini menjadi pelajaran bagi kita di sini, apalagi 9 April nanti ada pemilihan umum,” jelasnya.
Pdt. Jonely Lintong, M.Th., mengatakan, sepengetahuan dia, antara Israel dengan Palestina sudah beberapa kali bersepakat untuk damai. Antara lain kesepakatan di Camp David, ketika Yasser Arafat masih hidup. “Tapi, waktu itu kalau tidak salah, Hamas yang justru tidak sepakat. Sehingga, konflik ini terjadi karena Israel sudah kehilangan kesabaran atas perlakuan Hamas yang tidak ingin damai,” jelasnya.

Pdt. Prof. Dr. W.A. Roeroe dalam catatan penutupan diskusi itu menjelaskan, bahwa diduga bahwa konflik di sana meski memang bukan terutama persoalan agama, tapi, ada semangat-semangat keegamaan yang mendasari Israel untuk bersikap seperti itu terhadap Palestina. Misalnya, menurut Pd. Roeroe, secara historis Israel yang disebut oleh Alkitab sebagai bangsa Pilihan, masih memiliki kelanjutan dengan Israel yang ada sekarang. Baik demografis, geografisnya juga teologisnya. “Barangkali masih ada dalam ingatan mereka, tentang apa kata Perjanjian Lama mengenai diri mereka sebagai bangsa Pilihan yang membuat mereka masih memiliki rasa superioritas seperti itu,” katanya.

Padahal, menurut Pdt. Roeroe, ketika Abraham dipanggil Allah, dan sampai bermigrasi ke tanah Kanaan, Israel kemudian diharapkan dapat menjadi berkat bagi bangsa itu dan bangsa-bangsa lain. “Tapi sampai sekarang mereka tidak melakukannya, sehingga yang terjadi adalah kutuk,” tandas Pdt. Roeroe.

Perayaan Dies Natalis ke XX PPST UKIT yang dilaksanakan di rumah kediaman keluarga Pdt. Nico Gara-Mandagi di Talawaan itu, meski sederhana tapi berlangsung meriah dan penuh makna. Usai, diskusi, acara dilanjutkan dengan makan bersama, dan kemudian para mahasiswa dan alumni PPST UKIT ini mendapat kesempatan untuk memancing ikan di tempat pemeliharaan ikan keluarga Gara-Mandagi. (dp)

Jumat, 09 Januari 2009

TEOLOGI KONTEKSTUAL, SEBUAH KEBUTUHAN*

Oleh Vera Solung-Loupatty, M.Teol**

Para pembaca Alkitab (baca: orang percaya) tidak dapat menghindarkan diri dari membaca Alkitab menurut ‘kaca matanya’. Maksudnya, orang percaya (termasuk saya dan saudara-saudara) yang adalah pembaca Alkitab ‘kedua’ (masa kini), tumbuh dan dibentuk oleh budaya, tantangan, pergumulan dan harapan kekinian kita. Kita membaca Alkitab dengan harapan untuk mendapatkan makna yang akan menolong kita dalam menghadapi hidup kini dan di sini. Oleh sebab itulah, teks-teks Alkitab tidak boleh menjadi teks yang asing, tapi sungguh-sungguh dapat dipahami, dihayati dan diimplementasikan dalam hidup. Kita pun akan mengalami bahwa Allah tidak hanya berbicara pada masa lalu, tapi juga bagi kita sehingga imanensi Allah tidak sekedar cerita, tapi teralami dalam hidup yang selanjutnya terekspresi dalam pengakuan, “Allah hadir dalam hidup saya/kami”.

Sehubungan dengan hal ini, metode kritik historis dalam memahami Alkitab, patutlah ‘diingat’. Metode ini telah menimbulkan kontroversi di kalangan orang-orang Kristen yang telah turut memicu munculnya Fundamentalisme di Amerika pada awal abad XX. Istilah innerancy pun mengemuka untuk tidak ’menghalalkan’ metode tersebut dalam memahami Alkitab. Menurut saya, metode tersebut perlu digunakan dalam memahami Alkitab, sebab Alkitab tidak ’turun’ dari langit, tapi muncul dari konteks hidup manusia. Bagi mereka yang tidak setuju dengan model tersebut, berpemahaman bahwa jika metode ini digunakan berarti kewibaan Alkitab tidak ada lagi. Menurut saya, menyelidiki teks-teks Alkitab secara cermat, bukan berarti melecehkan Alkitab. Kita harus menyadari bahwa teks-teks tersebut, pertama-tama ditujukan kepada pembaca mula-mula. Oleh sebab itulah, kita perlu mencari tahu situasi dan kondisi dari penulis, penerima surat/tulisan, dsb untuk dapat memahami mengapa teks tersebut ditulis agar selanjutnya kita dapat memahami dan merefleksikannya dalam hidup kita. Metode tersebut tidak dalam rangka menyangkal peran Tuhan dalam kehidupan para penulis kitab, tetapi untuk mencari tahu maksud Tuhan bagi mereka di masa lalu dan bagi kita sekarang ini.

Seorang ahli Perjanjian Baru, Rudolf Bultmann berpendapat bahwa demitologisasi penting dalam rangka memahami Alkitab. Maksudnya, tulisan-tulisan PB dibungkus oleh mitologi Yunani yang asing bagi pembaca ’kedua’, sebab itu perlu direinterpretasi. Menurutya, firman Allah harus dimengerti oleh manusia modern agar mereka dapat mendengar sabda Allah di dalamnya. Dengan demikian jelaslah, ia tidak bermaksud membuang budaya Alkitab, tetapi sekali lagi bagaimana itu direinterpretasi agar firman Allah tidak hanya untuk mereka di masa lampau, tetapi juga bagi kita kini dan di sini.

Istilah kontekstual (teologi kontekstual) muncul, pertama-tama dalam rangka peningkatan pendidikan teologi di dunia ketiga oleh Theological Education Fund (TEF), demikian menurut Hesslegrave dalam buku Kontekstualisasi. Pendidikan Teologi didorong untuk memikirkan kembali teologinya, apakah menghasilkan suatu perjumpaan yang sesungguhnya antara mahasiswa dan Injil dengan memakai bentuk-bentuk pemikiran dan kebudayaannya sendiri, dan dialog dengan lingkungannya. Penggunaan istilah kontekstualisasi dipandang lebih tepat daripada indigenisasi dan inkulturasi. Menurut Drewes dan Mojau dalam buku ”Apa Itu Teologi?”, konteks adalah seluruh dunia di luar dan di dalam diri kita. Jadi, konteks tidak hanya menyangkut budaya kita tetapi juga budaya lainnya, tantangan, peluang, modernisasi dan hal-hal lain yang mempengaruhi hidup kita. Sedangkan indigenisasi hanya berorientasi pada kebudayaan tradisional dan inkulturasi berorientasi pada kebudayaan tertentu. Kontekstualisasi adalah kegiatan atau proses penggabungan amanat Alkitab dengan situasi kondisi kita.

Konteks hidup manusia harus diperhatikan, sebab misalnya, tidak semua manusia dibentuk oleh budaya yang sama. Budaya juga tidaklah statis sebab manusia yang adalah penghasil budaya (menurut Perry & Perry dalam buku The Social Web) sekaligus pelaku budaya selalu berinteraksi di tengah dunia yang selalu berubah. Itu berarti, perubahan merupakan hal yang tidak dapat dihindari sebab manusia menghadapi hidup yang selalu berubah sehingga dibutuhkan cara ataupun perspektif baru untuk menyikapi hidup; bahkan manusia akan tiba pada tahap untuk melakukan reinterpretasi terhadap nilai-nilai budaya agar tetap relevan dengan perkembangan zaman dan apa yang dibutuhkan manusia. Masyarakat selalu berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik dan kultur. Di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Masyarakat bukan sebuah kesatuan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait bertingkat ganda sebagaimana yang dikatakan oleh Sztompka dalam bukunya Sosiologi Perubahan Sosial. Dengan gambaran ini, semakin jelaslah bahwa budaya Alkitab berbeda dengan budaya kita (juga budaya di tempat lain di dunia ini). Budaya kita saja selalu mengalami perubahan, apalagi budaya Alkitab yang telah ribuan tahun sebelum kita. Dengan demikian, budaya Alkitab tidak dapat berlaku mutlak untuk semua belahan dunia ini, sebab itu Alkitab perlu dipahami secara baru sesuai konteks dimana kita hidup.

Berbicara teologi kontekstual, berarti berbicara tentang negara-negara Dunia Ketiga yang masih dibelenggu oleh kemiskinan, ketidakadilan, dominasi Barat, agama Kristen merupakan minoritas, pada umumnya sebagai negara bekas kolonial dan yang sedang berupaya berdiri sejajar dengan negara-negara maju (selanjutnya setiap tempat memiliki teologi kontekstualnya). Konteks negara-negara dunia ketiga ini (Asia khususnya) telah membuat kaum minjung di Korea mengidentikkan Yesus dengan kaum minjung yang mengalami penindasan, tetapi yang kemudian beroleh kemenangan sebagaimana yang dialami oleh Yesus; kaum perempuan Asia yang banyak mengalami penderitaan karena kemiskinan dan ketidakadilan gender, meyakini Yesus adalah Tuhan (Lord) yang tidak seperti para penginjil yang datang bersamaan dengan kolonialisme yang telah membuat banyak kaum Asia (perempuan) menderita karena diperlakukan sebagai hamba.

Oleh sebab itulah, cover buku dari Sugirtharajah menampilkan Yesus tidak dengan rambut berwarna ’pirang’, tetapi Yesus yang rambutnya berwarna hitam dan yang tinggi badannya tidak setinggi ’orang bule’. Yesus dengan gambaran ’orang bule’ membuat kaum Asia merasa, Dia adalah orang asing yang datang dengan kuasa untuk mengeksploitasi. Oleh sebab itulah menurut Cobb dalam bukunya Christ and Culture in Pluralistic Era, hasil karya seni yang menggambarkan Yesus sebagai ’orang bule’ telah menyamarkan imanensi Allah dan mengedepankan transendensi-Nya sehingga Ia menjadi asing bagi kita. Yesus dengan gambaran khas orang Asia (atau gambaran orang kulit hitam-Afrika) membuat kita merasa Ia adalah bagian dari kita-Ia ada didalam kita untuk merangkul, menyembuhkan luka-luka batin lalu berjalan bergandengan tangan untuk menemukan jalan keluar dari setiap permasalahan hidup. Lebih lanjut, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa teologi kontekstual muncul sebagai reaksi terhadap teologi tradisional (Barat) yang telah berusaha mencabut warga Asia (atau warga dunia ketiga pada umumnya) dari akar-akarnya yang telah membuat mereka hidup dan bertumbuh. Menurut Tissa Balasuriya dalam bukunya Teologi Siarah, ciri-ciri teologi tradisional, yaitu teologi yang terikat pada budaya tertentu, teologi yang berpusat pada Gereja, teologi yang didominasi kaum pria, teologi yang didominasi usia, teologi yang pro-kapitalis, teologi yang anti-komunis, teologi yang non-revolusioner, teologi yang tidak memiliki kemampuan analisis sosial dan teologi yang terlalu teoretis. Pada satu pihak ciri-ciri teologi tersebut tidaklah salah, tetapi bukan berarti selalu cocok dalam semua konteks lebih khusus lagi Asia. Teologi tradisonal sangat kuat mempengaruhi pertumbuhan Gereja dan cara berteologi dalam konteks Asia karena negara-negara Asia mengenal Injil Yesus Kristus dari para penginjil Barat (Eropa). Mereka datang dengan maksud mulia, yaitu menyampaikan kabar baik kepada manusia, tetapi yang (sering) mengabaikan konteks dari mereka yang menjadi tujuan pekabaran Injil. Jadi seharusnya, mereka tetap memberi ruang kepada warga Asia untuk memahami Injil sesuai dengan konteksnya.

Dalam rangka berteologi kontekstual, Bevans dalam bukunya ”Model-model Teologi Kontekstual” mengemukakan tentang lima model yang dapat membantu kita, yaitu model terjemahan, antropologis, praksis, sintetis dan transendental. Tidak ada model yang lebih baik daripada yang lain, sebab itulah setiap model mempunyai kekuatan dan kelemahan. Itu berarti, kontekstualisasi bukanlah yang penting sudah dilakukan penyesuaian, sebab penyesuaian yang serampangan dapat membuat kontekstualisasi terjebak pada sinkretisme. Tentang hal ini, TEF menjelaskan sebagaimana dikutip oleh Drewes-Mojau, kita harus membeda-bedakan dengan cermat antara bentuk-bentuk kontekstualisasi yang autentik dan yang palsu. Kontekstualisasi palsu menyerah pada akomodasi (penyesuaian) yang tidak kritis, suatu bentuk iman budaya. Kontekstualisasi selalu bersifat kenabian, yang selalu muncul dari suatu pertemuan yang sungguh-sungguh antara Firman Allah dan dunia-Nya, dan bergerak maju menuju tujuan untuk menantang dan mengubah situasi melalui keberakaran dan komitmen pada suatu saat historis tertentu. Dengan demikian jelaslah bahwa kontekstualisasi dinamis bukan statis. Berdasarkan deskripsi ini, teologi kontekstual merupakan sebuah kebutuhan sebab sudah selayaknya Firman Allah dapat dipahami oleh orang percaya sepanjangan zaman menurut konteksnya.

*Penulis, Dosen dan

Sekretaris Program Studi Teologi Kristen Protestan Fakultas Teologi UKIT

** Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Inspirator

Edisi Oktober-Desember 2008

Senin, 05 Januari 2009

Galeri Foto Perayaan Natal Yesus Kristus Fakultas Teologi UKIT Desember 2008
















Ibadah Perayaan Natal Yesus Kristus 10 Desember 2008


Info Kampus Oktober - Desember 2008

SISTEM KOMPUTERISASI AKADEMIK:

Komputerisasi akademik telah dimulai pada semester ganjil 2007/2008 dalam kerjasama dengan Fakultas Teknologi Informasi – Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Program yang dinamakan SIAKAD (Sistem Informasi Akademik) memudahkan proses administrasi akademik mahasiswa. Kartu Rencana Studi (KRS), Kartu Hasil Studi (KHS) dan lain-lain dapat dengan mudah diakses oleh mahasiswa melalui komputer - komputer yang telah disediakan. Dosen langsung menginput nilai di dalam computer. Saat ini sedang diupayakan untuk mengembangkan jaringan dari Local Area Network (LAN) ke Wide Area Network (WAN), agar dalam waktu dekat SIAKAD dapat diakses dari mana saja melalui layanan internet

UJIAN NASIONAL DEPAG RI:

Pada tanggal 1-3 Desember 2008, Fakultas Teologi UKIT kembali melaksanakan Ujian Nasional DEPAG RI bersama-sama dengan STT Parakletos Tomohon. Ujian Nasional ini diikuti oleh 38 peserta. Kegiatan yang dimulai pukul 08.00 Wita ini dibuka secara langsung oleh Dekan Fakultas Teologi UKIT dan Pimpinan STT Parakletos selain itu juga hadir dalam Ibadah Pembukaan yaitu Seluruh Panitia Daerah dari Fakultas Teologi UKIT. Dalam pelaksanaan Ujian Nasional ini DEPAG RI mengutus 1 orang Pengawas Pusat yaitu Ibu Oditha Hutabarat, M.Th yang adalah Kasubdit Perguruan Tinggi Kristen. Kegiatan ini berjalan dengan baik hingga akhir pelaksanaan Ujian.

Sebelum pelaksanaan Ujian Nasional, Fakultas Teologi UKIT telah menyelenggarakan Penyegaran Materi Ujian bagi para calon peserta Ujian Nasional DEPAG RI yaitu tanggal 27-28 Desember 2008. Materi-materi penyegaran diberikan oleh Dosen-dosen Fakultas Teologi UKIT.

KULIAH AKTA IV:

Fakultas Teologi UKIT kembali melaksanakan kuliah intensif akta IV yang diikuti oleh 44 peserta. Kuliah ini berlangsung selama 2 bulan dari 15 Oktober sampai 6 Desember 2008. Mata kuliah yang di buka adalah Strategi PAK, PAK Sekolah, Psikologi Pendidikan/Teori Belajar, Kurikulum PAK, Micro Teaching, Evaluasi PAK dan Media PAK, dengan dosen pengajar sebanyak 5 orang, Pdt.T.Dj.Mewengkang-Momongan,Th.M, Pdt. L.Masalamate,M.Teol, Pdt.J.P.Pinontoan-Setlight,M.Th, Pdt. J.Paninggiran Sundah, M.Teol, Pdt. W.R.Montolalu,M.Teol.

DEBAT TERBUKA TENTANG PENDETA DAN POLITIK

TV 5 Dimensi bekerjasama dengan Fakultas Teologi UKIT melaksanakan acara Debat terbuka dengan topik “Bolekah Pendeta Berpolitik”? kegiatan yang dilaksanakan tanggal 10 Desember 2008 mengambil tempat di Lapangan 1 Fakultas Teologi UKIT dengan Narasumber Pdt. L. J. Politton, S.Th & Pdt. J.P.Pinontoan-Setlight, M.Th dihadiri oleh Mahasiswa baik dari Fakultas Teologi UKIT maupun dari STT Parakletos

DEM UKIT AMBIL BAGIAN DALAM KONGRES NASIONAL MAHASISWA TEOLOGI INDONESIA

Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teologi UKIT turut mengambil bagian dalam kegiatan Mahasiswa bertaraf nasional dalam Kongres Nasional Mahasiswa Teologi Indonesia yang dilaksanakan pada 19 – 22 November 2008 di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. DEM Fakultas Teologi yang ikut adalah Presiden DEM, Heidy Natalia Tuerah dan Sekretaris Jendral DEM, Rizart Gotlief Pauran.

Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari ini telah memberikan hasil yang maksimal dalam rangka perkembangan Mahasiswa, terbentuk kembali Persatuan Mahasiswa Teologi Indonesia yang terlibat didalamnya bukan hanya Sekolah-sekolah PERSETIA tetapi juga dari Sekolah-sekolah Katolik dan beraliran Pentakosta di seluruh Indonesia. Syukur Kepada Tuhan, utusan dari DEM Fakultas Teologi diangkat menjadi Pengurus PMTI Regio Sulawesi, Heidy Tuerah sebagai Sekretaris dan Rizart Pauran sebagai Bendahara.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More