Minggu, 18 Januari 2009

“Israel-Hamas, Sama-sama Keras”

Dari Diskusi dalam Rangka Perayaan Dies Natalis ke XX Program Pasca Sarjana Teologi UKIT

Talawaan - Konflik Israel-Hamas terus terjadi karena kedua pihak tersebut sama-sama keras, dan tidak ingin menyelesaikan masalah secara damai. Demikian antara lain yang dikatakan oleh Pdt. Dr. Nico Gara, ketika menyampaikan pendapatnya dalam diskusi bertajuk Konflik Israel- Hamas dalam rangka perayaan Dies Natalis ke XX Program Pasca Sarjana Teologi (PPST) UKIT di Talawaan – Minahasa Utara, Sabtu (17/09) akhir pekan lalu.

Diskusi yang dipandu Rikson Karundeng ini berlangsung hangat, dan penuh makna. Selain para mahasiwa PPST UKIT yang hadir, undangan lain seperti wartawan Senior Kompas Freddy Roeroe, wartawan Suara Pembaruan dan juga alumni Fakultas Teologi UKIT, Feibe Lumanauw, juga tak ketinggalan memberikan komentar mereka. Pertanyaan menarik diajukan Freddy Roeroe kepada para peserta diskusi. ”Apakah Israel yang disebut-sebut dalam Alkitab, sama dengan Israel yang sedang terlibat konflik sekarang ini?” tanya Roeroe.

Feibe Lumanauw, berpendapat bahwa gereja-gereja di Indonesia perlu memberikan perhatiannya terhadap konflik yang telah memakan ribuan korban jiwa, baik dari pihak Palestina maupun pihak Israel tersebut. ”Konflik ini menurut pendapat saya, bukan konflik agama. Sehingga, Indonesia, terutama gereja-gereja yang ada perlu membangun lobi dengan kedua belah pihak, selain untuk menyampaikan keprihatinan, tapi juga untuk memberikan kontribusi dalam rangka perdamaian di sana,” kata Lumanauw.

Senada dikatakan Denni Pinontoan, mahasiswa PPST yang juga dosen Fakultas Teologi UKIT. Menurutnya, apa yang diperjuangkan oleh Yasser Arafat dengan PLO-nya semata-mata adalah perjuangan Palestina merdeka. ”Ini bukan persoalan antar agama, tapi persoalan tanah. PLO dan Hamas sama-sama memperjuangkan Palestina merdeka, tapi PLO fokus pada negara Palestina merdeka yang nasionalis, sementara barangkali Hamas sangat disemangati oleh pemikiran keagamaan Islam yang bercita-cita mendirikan negara Palestina merdeka yang berdasar pada ideologi Islam,” katanya.

Pdt. Dr. R.A.D. Siwu, PhD, yang juga rektor UKIT mengatakan, dalam konteks Indonesia konflik ini telah beragam reaksi, terutama dari kelompok Islam Fundamentalis. Pendapat-pendapat dari kelompok yang bereaksi tersebut menurut Siwu menggambarkan juga bagaimana masyarakaat kita melihat persoalan ini. ”Dari apa yang diberitakan oleh media, kita dapat melihat bahwa, terutama dari kelompok Islam Fundamentalis telah berusaha menggeser persoalan ini ke masalah agama. Ini menjadi persoalan bagi kita,” tegasnya.

Pdt. Maria Politton-Assa, M.Min, yang ikut berbicara dalam diskusi itu mengatakan, konflik ini adalah akibat permainan politik kotor. ”Politik itu sebenarnya baik, tapi kadang manusia yang membuatnya menjadi tidak baik. Ini menjadi pelajaran bagi kita di sini, apalagi 9 April nanti ada pemilihan umum,” jelasnya.
Pdt. Jonely Lintong, M.Th., mengatakan, sepengetahuan dia, antara Israel dengan Palestina sudah beberapa kali bersepakat untuk damai. Antara lain kesepakatan di Camp David, ketika Yasser Arafat masih hidup. “Tapi, waktu itu kalau tidak salah, Hamas yang justru tidak sepakat. Sehingga, konflik ini terjadi karena Israel sudah kehilangan kesabaran atas perlakuan Hamas yang tidak ingin damai,” jelasnya.

Pdt. Prof. Dr. W.A. Roeroe dalam catatan penutupan diskusi itu menjelaskan, bahwa diduga bahwa konflik di sana meski memang bukan terutama persoalan agama, tapi, ada semangat-semangat keegamaan yang mendasari Israel untuk bersikap seperti itu terhadap Palestina. Misalnya, menurut Pd. Roeroe, secara historis Israel yang disebut oleh Alkitab sebagai bangsa Pilihan, masih memiliki kelanjutan dengan Israel yang ada sekarang. Baik demografis, geografisnya juga teologisnya. “Barangkali masih ada dalam ingatan mereka, tentang apa kata Perjanjian Lama mengenai diri mereka sebagai bangsa Pilihan yang membuat mereka masih memiliki rasa superioritas seperti itu,” katanya.

Padahal, menurut Pdt. Roeroe, ketika Abraham dipanggil Allah, dan sampai bermigrasi ke tanah Kanaan, Israel kemudian diharapkan dapat menjadi berkat bagi bangsa itu dan bangsa-bangsa lain. “Tapi sampai sekarang mereka tidak melakukannya, sehingga yang terjadi adalah kutuk,” tandas Pdt. Roeroe.

Perayaan Dies Natalis ke XX PPST UKIT yang dilaksanakan di rumah kediaman keluarga Pdt. Nico Gara-Mandagi di Talawaan itu, meski sederhana tapi berlangsung meriah dan penuh makna. Usai, diskusi, acara dilanjutkan dengan makan bersama, dan kemudian para mahasiswa dan alumni PPST UKIT ini mendapat kesempatan untuk memancing ikan di tempat pemeliharaan ikan keluarga Gara-Mandagi. (dp)

2 komentar:

Memang sangat jelas dalam Alkitab, kisah perjalanan bangsa ini menuju tanah Kanaan mendapat gelar Bangsa yang "TEGAR TENGKUK" bangsa yang keras kepala, sudah dikasihani malah terus melawan dengan berbuat yang tidak dikehendakiNya. Namun, apakah benar yang dikatakan Dubes Israel untuk Singapura,Ilan Ben-dov dalam sebuah wawancara bahwa sebenarnya memang invasi militer Israel ke Palestina bukan untuk Palestina tetapi untuk kelompok Hamas yang berjuang untuk kepentingannya bahkan dikenal sebagai kelompok radikal. Dan sebenarnya tindak Israel ini adalah tindakan balasan atas serangan kelompok Hamas ke Israel. Dan ternyata juga karena yang menjadi korban lebih banyak penduduk sipil palestina, akhirnya Dubes Palestina untuk Indonesia(Fariz Mehdavi) bicara bahwa mereka punya keberanian untuk siap mati, walaupun sebenarnya mereka berjuang untuk hidup.Kekerasan antara mereka sebenarnya terletak pada Pengakuan. Karena sama-sama ingin diakui sebagai negara. (Israel sebenarnya mendukung Solusi dua negara). Mmungkin saja dengan adanya pengakuan ini, kekerasan antar keduanya akan hilang dengan sendirinya.

Konflik Isreal Palestina (Hemas) menurut saya mengambarkan kepentingan Timur-Barat dalam percaturan politik dan ekonpmo global. Apakah ini yang disebut oleh Samuel Huntington sebagai benturan peradaban?

denni

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More