Mengucapkan:
Selamat Natal Yesus Kristus, 25 Desember 2008
dan
Tahun Baru, 1 Januari 2009
“Damai di Langit dan di Bumi, Damai di Hati”
Hiduplah Perdamaian dengan Semua Orang
(Roma 12:18b)
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Oleh: Billy Mentang
Introduksi
Fakultas Teologi UKIT sebagai sebuah dapur. Pernyataan ini kedengarannya aneh. Masakan perguruan tinggi yang pada 7 Oktober 2008 merayakan Dies Natalisnya ke-46 disebut sebuah dapur? Mungkin saja. Mungkin, jika yang dimaksud adalah dapur di bagian belakang kantor fakultas yang dikomandani setiap hari dengan rajin dan setia oleh Tante Else (panggilan akrab). Tapi apakah benar jika seluruh aktivitas dan tujuan Fakultas Teologi UKIT yang bersumber dari visi dan misinya adalah demi satu tujuan yakni sebagai sebuah dapur layaknya aktivitas dapur dalam pengertian lazimnya. Kalau begitu, apa bedanya dengan dapur-dapur masyarakat (termasuk di rumah saudara dan saya) yang tak terhitung lagi banyaknya. Apakah memang sengaja didirikan untuk tujuan layaknya sebuah dapur.
Menyebut kata dapur memang mengarahkan pikiran kita pada proses memasak di dalam sebuah dapur. Ada tempatnya, ada peralatannya ada bahan masakannya dan ada juru masaknya. Yang terpenting untuk diingat ialah tanpa dapur (proses memasaknya, bahan-bahannya, peralatannya, cara memasaknya dan orang yang memasak) tidak mungkin kita menyantap makanan yang enak dan bergizi.
Sekarang, mengapa Fakultas Teologi UKIT disebut sebagai “dapur”? Ya, alasannya jelas. Fakultas Teologi yang sudah berusia 46 tahun ini mirip dan memang adalah sebuah “dapur”. Dianalogikan sebagai sebuah dapur. Proses dan tujuannya sama. Menghasilkan makanan yang enak dan bergizi. Menghasilkan teolog-teolog yang berkualitas. Teolog-teolog yang laku dipasaran (marketable). Disukai pengguna (User) dan Capable (mempunyai kapabilitas/dapat dipercaya kualitasnya) dalam bidangnya.
Fakultas Teologi UKIT sebagai “dapur” Teologi
Nah, sekarang bagaimanakah model dan cara kerja “dapur teologi” ini. Deskripsinya sebagai berikut: disebut dapur jika ada tempatnya. Ada ruang yang memungkinkan terjadinya suatu proses. Ada lokasinya. Demikianlah lembaga pendidikan teologi yang berdiri 7 Oktober 1962 dengan nama PTTh (Perguruan Tinggi Theologia). Visinya untuk meningkatkan pelayanan gereja agar mampu menjawab tantangan zaman, dan karenanya memiliki misi untuk mendidik dan memperlengkapi pemudi-pemudi yang terpanggil menjadi pendeta yang handal. Itulah dapur yang telah didirikan untuk menyajikan lulusan yang siap melayani sebagai pendeta yang handal.
Demikianlah prinsip kerja di dapur berlaku juga di Fakultas Teologi. Ibarat proses terjadinya suatu masakan (butuh bahan, peralatan, kerja dan hasil), demikianlah masakan dari dapur teologi ini butuh proses dan racikan masakan yang benar untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dan mempunyai daya saing.
Dengan peralatan dapur yang memadai (sarana/pra-sarana), sangat terbantulah si juru masak (para pengajar) atau orang-orang yang memasak untuk melaksanakan tugasnya. Tentulah bahan-bahan dasar (muatan ilmu/materi) yang baik (bersih, segar dan bergizi) akan menentukan kualitas masakan nantinya. Bukan itu saja, bumbu-bumbunya harus lengkap. Mulai dari garam, merica, bawang putih, bawang merah sampai bawang Bombay harus tersedia. Semua aspek dalam menunjang kelengkapan ilmu harus memadai. Jika semua bumbu yang diperlukan dalam suatu masakan tersedia dengan kualitas yang baik, hasilnya juga pasti baik.
Sekarang cara meraciknya. Prosesnya. Perkuliahannya, proses belajar-mengajarnya. Jika salah meracik berbahaya! Bisa tidak enak masakannya. Jika yang ditaruh pertama kali di kuali yang sudah panas adalah bawang putih/bawang merah dan bukan minyak goreng, maka bukan bawang goreng tetapi bawang “angus” hasilnya. Bukan harum bawang, tapi harum “arang”. Jadi prosesnya harus benar. Kurikulumnya harus menjawab kebutuhan dan tersusun dengan sistematis dengan sasaran yang tepat dan jelas.
Orang yang memasak (pengajar-pengajarnya) juga harus memiliki skill (kecakapan) yang tinggi. Bagaimanapun juga skill juru masak sangatlah menetukan. Proses memasak bukan sim sala bim atau abra ka dabra. Duar!!! Langsung jadi. Tidak! Butuh waktu. Butuh kesabaran dan ketekunan. Jika belum waktunya kemudian sudah disajikan akibatnya fatal. Dapat dibayangkan kalau harusnya seorang mahasiswa diwajibkan memperoleh 144 atau 150 SKS, tapi kemudian sudah diwisuda padahal baru mengumpul 60-an SKS. Bisa kurang garam. Belum matang betul, alias “manta tenga”. Pasti tidak enak dimakan! Mana mungkin orang suka makan makanan seperti itu. Kalaupun terlanjur dicicipi, sisanya pasti dibuang. Masakan itu jadi tidak ada artinya. Tidaki berkualitas. Sudah jelas, tidak laku dipasaran. Jadi sekali lagi waktu dalam proses itu penting.
Beberapa kali si juru masak harus mencicipi masakan yang sementara dimasaknya. Sudah pas atau belum? Jangan terlalu banyak dibumbuhi. Nanti rasanya hambar. Jangan CBSA (curah bahan sampai habis). Selera lidahnya juga menentukan. Kurang garam atau “pait garam”. Jika sudah tepat waktu dan semua sudah masuk dalam kuali menurut waktu dan urutannya, hasilnya pasti luar biasa. Lezat, gurih, pedas, asam dan manisnya pas. Mengundang selera. Harumnya mengundang rasa lapar !!! Emm … liur ditelan dulu. Belum waktunya makan.
Akhirnya barulah ia tiba di meja makan dengan hiasan yang menarik dan yang terpenting mengundang selera. Di situlah rasa (kualitas) masakan itu dibuktikan. Dibuktikan oleh penggunanya. Gereja maupun masyarakat. Sebab lulusan fakultas teologi UKIT tidak hanya bekerja di gereja saja. Ada yang bekerja di instansi pemerintah maupun swasta. Apakah enak, pas atau tidak, penggunalah (User) yang menentukan dan sekaligus memberi penilaian atasnya. Jika rasanya nikmat dan memuaskan, pastilah si juru masak mendapat pujian. Ia mendapat apresiasi dan masakannnya ingin selalu dinikmati semua orang. Harusnya karena semakin banyak peminat, pendapatannya (kesejahteraannya) juga meningkat. Itu berarti dapurnya akan terus beraktivitas. Namun kenyatataanya berbeda. Bukan kesejahteraan meningkat, malah upah yang harusnya rutin mereka terima tidak dibayar. Bekerja susah payah tapi tak berdaya karena upah ditahan! Aneh tapi nyata.
Menghasilkan makanan yang enak, sehat bergizi dan disukai semua orang. Itulah kerja si dapur teologi dan para juru masaknya. Bagaimanapun juga, di dalam dapur itulah dan karena jasanyalah serta racikan yang luar biasa si juru masak dan dibarengi proses yang benar telah membuat dapur itu tetap eksis dan Berjaya. Teolog-teolognya laku di pasaran. Walaupun disadari juga ada yang sepertinya belum layak keluar dari dapur ke meja makan karena prosesnya belum sempurna. Belum enak dan belum layak dinikmti banyak orang.
Demikianlah fakultas Teologi UKIT diusianya yang ke-46 terus menjadi kebanggaan kita semua. Walaupun harus diakui sepanjang sejarahnya tidaklah lepas dari berbagai tantangan dan kesulita samapai saat ini. Kesulitan yang dihadapi dengan keuletan, kesabaran dan kerja keras. Semua itu membuahkan hasil yang memuaskan. Lulusan-lulusannya diakui kualitasnya oleh pengguna. Gereja dan masyarakat. Lulusannya mampu ber-teologi (doing theology) di tengah masyarakat yang beragam cara pandang dan kebiasaan.
Semoga masakan yang muncul dari dapur ini tetap disukai dan bermanfaat bagi banyak orang. Tetap sehat, segar, enak dan yang terpenting bergizi. Ya, bergizi. Sebab bisa saja masakan itu enak dipandang dan enak di mata tapi tidak enak untuk kesehatan. Enak belum tentu bergizi. Yang diharapkan supaya penggunanya tidak suka “jajan di luar” lagi. Karena jajanan di luar itu belum entu sehat dan bergizi. Karena itu, masakan dari dapur teologi ini harus benar-benar enak, menarik dan bergizi! Bermanfaat dan bermutu tinggi. Bukan masakan yang membuat orang tidak berselera makan atau malah membuat orang meresa sakit perut. Kualitasnya harus tetap dipertahankan. Harus mampu bersaing, sehingga kepercayaan dan rasa memiliki (Sense of Belonging) dari pengguna (User) tetap terjaga.
Jaya terus Fakultas Teologi UKIT! Selamat Dies Natalis ke-46 kepada seluruh civitas akademika. God Bless Us.
Penulis, Mahasiswa Fakultas Teologi UKIT
Visi:
Oleh: Denni Pinontoan*
Fakultas Teologi UKIT, GMIM dan Publik
Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) 7 Oktober tahun 2008 ini genap berusia 46 tahun. Sudah menjadi tradisi, hari yang istimewa ini akan dirayakan dalam suatu suasana yang sukacita dan penuh rasa syukur kepada Tuhan Allah yang dipercayai telah menjumpai manusia dalam Yesus Kristus. Panitia Perayaan Dies Natalis Fakultas ke 46 telah mempersiapkan berbagai rencana kegiatan yang berbentuk selebrasi maupun aksi, misalnya seminar dan kegiatan olah raga dan seni di lingkungan civitas akademika Fakultas Teologi UKIT. Seminggu sebelumnya, Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) merayakan 74 tahun Bersinode di Tanah Minahasa.
Dalam kesukacitaan dan penuh syukur inilah, refleksi ini hadir sebagai “kado” untuk GMIM dan semua orang yang merasa memiliki ikatan baik emosional maupun kelembagaan dengan Fakultas Teologi, baik sebagai mahasiswa, orang tua mahasiswa, Pimpinan Fakultas, para dosen, staff dan jemaat GMIM pada umumnya. Tiada kado yang lebih berharga di hari yang istimewa ini selain memberikan catatan refleksi dan apresiasi terhadap kehadiran lembagai ini.
Kebanyakan kita sudah tahu, bahwa Fakultas Teologi UKIT adalah milik GMIM, sebuah lembaga Kristen yang memiliki umat terbanyak di Tanah Minahasa. Maka, bicara Fakultas Teologi UKIT, kita tentu tidak bisa melepaskannya dari perjalanan gereja berlambang burung manguni itu sendiri. GMIM yang adalah buah dari penginjilan para zending, dan penginjilan itu tidak lepas dari usaha memajukan pendidikan di Tanah Minahasa oleh para pendirinya, salah satunya Ds. A.Z.R. Wenas. Ds. Wenas, Ketua Sinode GMIM pertama yang asli Minahasa kemudian meneruskan usaha penginjilan itu dengan antara lain mendirikan lembaga pendidikan teologi, yang sekarang kita kenal dengan Fakultas Teologi ini.
Buku Panduan Fakultas Teologi UKIT YPTK edisi kedua 2007 (hal. 3-7) menuliskan tentang sejarah berdirinya Fakultas Teologi ini. Dituliskan dalam buku panduan itu, bahwa lembaga pendidikan teologi ini memiliki sejarah yang cukup panjang. Cikal bakalnya dimulai pada 1 November 1868 melalui berdirinya Sekolah Pembantu Penginjilan. Sekolah ini sendiri eksis hingga tahun 1886. Kelanjutan dari sekolah ini adalah
Dituliskan juga dalam buku panduan itu, setelah jedah cukup lama antara lain karena pendudukan Jepang, dan masa-masa sulit pasca Perang Dunia II, maka pada tahun 1960 berdirilah Akademi Theologia. Lembaga pendidikan teologi ini berlangsung sampai tahun 1965. Bersamaan dengan itu, tokoh besar GMIM Ds. A.Z.R. Wenas yang adalah Ketua Sinode GMIM pada waktu, dengan visi yang jauh ke depan, tepatnya 7 Oktober 1962 kemudian mendirikan Perguruan Tinggi Theologia (PPTh) di Tomohon. Tanggal inilah yang dijadikan sebagai tanggal lahir Fakultas Teologi UKIT. Ketika UKIT diresmikan pada tanggal 20 Februari 1965, PPTh diintegrasikan ke UKIT dan menjadi Fakultas Teologi UKIT.
Hingga sekarang, meski terjadi berbagai persoalan atau tepatnya dipersoalkan, namun Fakultas Teologi UKIT tetap eksis menjalankan pelayanannya di bidang pendidikan teologi, dengan legalitas dari GMIM lewat Yayasan Perguruan Tinggi Kristen (YPTK), sebagaimana tertuang dalam Statuta UKIT Tomohon tertanggal 9 April 2001. Soal adanya rumor yang beredar bahwa UKIT YPTK illegal, itu sama sekali tidak benar! Amar Putusan Pengadilan Tinggi Manado bernomor 153/Pdt/2007/PT.MDO telah memutuskan bahwa kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh YPTK, yang antara lain menetapkan Pdt. Dr. R.A.D. Siwu, MA, PhD sebagai Rektor UKIT Periode 2005-2009, adalah sah secara rose. Dengan demikian, penyelenggaraan pendidikan UKIT YPTK di bawah kepemimpinan Rektor Pdt. Dr. R.A.D. Siwu, MA, PhD., adalah sah secara rose rose . Dan yang mestinya terjadi, kebijakan-kebijakan BPS GMIM terhadap UKIT harus mengikuti/sesuai dengan Amar Putusan Pengadilan Tinggi Manado itu.
Kalau ada kebijakan yang bertolak belakang dari Amar Putusan itu, jemaat dan para Pelayan Khusus (Pendeta, Syamas dan Penatua) di tingkat jemaat harus mempertanyakan itu kepada pimpinan BPS GMIM. Para Pelsus mestinya harus cerdas dan cermat menanggapi segala
Hal ini harus ditegaskan ulang dan agaknya harus berulang-ulang, bahwa meski UKIT, yang di dalamnya ada sejumlah Fakultas, termasuk di dalamnya Fakultas Teologi UKIT, milik GMIM tapi dia hadir dan berada untuk rose . Sebab, sebagai lembaga pendidikan tinggi, UKIT terbuka untuk public karena dia melayani public bagi usaha pencerdasan demi suatu pencerahan. Mahasiswa yang berkuliah di sejumlah fakultas di UKIT tidak hanya dari GMIM dan Minahasa. Mereka datang dari berbagai denominasi gereja dan agama serta daerah asal. Karena itulah sehingga UKIT juga harus mengikuti dan mematuhi rose public yang berlaku di Negara kita ini. Termasuk, kebijakan-kebijakan (rose privat) BPS GMIM harus menyesuaikan dan tunduk pada rose public atau rose rose (sejauh itu tidak mengorbankan independensi GMIM sebagai lembaga keagamaan) yang mengatur keabsahan penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Pelopor Pembaharuan Pemikiran Kristen
Soal status rose Fakultas Teologi UKIT sengaja diterangkan dalam tulisan ini agar refleksi kita tidak hanya soal kemelut yang terjadi di UKIT, tapi dapat dikembangkan sampai ke soal peran dari Fakultas-fakultas yang ada di lingkungan UKIT YPTK, dan lebih khusus kali ini kita berbicara Fakultas Teologi UKIT yang pada 7 Oktober ini akan merayakan Dies Natalis ke 46. Dengan adanya penjelasan itu, diharapkan rose bisa tahu yang sebenarnya tentang status rose UKIT YPTK.
Dengan demikian refleksi kita dapat dilanjutkan. Mari kita berefleksi bersama:
Salah satu perpustakaan di Kota Tomohon yang namanya mengambil nama Ds. A.Z.R. Wenas, yaitu Perpusatakaan Minahasa “A.Z.R. Wenas” mengutip kalimat ungkapan dari mantan Ketua Sinode GMIM itu. Pengelolah perpustakaan ini mencetak kalimat ungkapan itu di atas sebuah kertas yang dilindungi kaca berbingkai yang dipajang di dinding ruangan depan gedung perpustakaan itu. Bunyi ungkapan itu adalah: “Tanah dan Bangsa Minahasa adalah Ciptaan dan Anugerah Tuhan. Gereja Tuhan di Tanah Minahasa harus menjalankan Misinya lepas dari Kuasa Negara Sambil Melaksanakan Kesaksian Kenabiannya Melalui Perbuatan yang Nyata Dengan Mencerdaskan Manusia, Menolong Orang yang Sakit dan Mengangkat Derajat Kesejahteraan Bangsa Minahasa.”
Kedua, ada kata-kata “Gereja Tuhan”, “Misi” dan “Kuasa Negara”. Ds. Wenas agaknya tidak mau menyempitkan arti tugas mengiplementasikan Injil itu hanya dengan menyebut GMIM saja sebagai gereja. Tapi inilah ungkapan seorang Kristen sejati atas kesadarannya pada panggilan untuk bersaksi mengabarkan Injil Yesus Kristus. Meski memang barangkali yang dimaksudnya adalah GMIM, tapi dengan menggunakan kata “gereja Tuhan” daripadanya kita dapat melihat suatu sikap oikumenis bagi gereja dalam melayani. Kata “Kuasa Negara” yang didahului dengan suatu kata “lepas”, yang juga bisa kita artikan agar bebas dari pengaruh negative kuasa politik Negara, tentu harus dibaca dalam konteks di mana Ds. Wenas mengungkapkan penegasan yang reflektif ini. Ini barangkali sebuah penegasan antisipasi bagi gereja di masa depannya (baca: sekarang), belajar dari masanya, untuk selalu mewaspadai kuasa politik Negara yang kalau tidak diwaspadai bisa mengobrak-abrik gereja. Point kedua ini, menurut saya ingin menegaskan pada kita bahwa gereja yang menjalankan misi Tuhan haruslah selalu dalam kesadaran diri untuk tidak terjebak pada kuasa politik Negara, yang jika terjadi perselingkuhan antara keduanya bisa menumpulkan peran gereja untuk mendamaisejahterakan manusia yang selalu bersoal dengan kemiskinan, ketidakadilan atau bahkan penganiayaan, kebodohan dan diskriminasi dalam beragam bentuk.
Ketiga, ada kata-kata “Kesaksian Kenabian” “Mencerdaskan Manusia”, “Menolong Orang yang Sakit” dan “Mengangkat Derajat Kesejahteraan Bangsa Minahasa.” Akhirnya, “Misi” adalah juga “Kesaksian Kenabian”, yaitu tugas gereja di dalam dunia. Apa tugas gereja itu? Jelas sekali, tugas gereja itu adalah, “Mencerdaskan Manusia”, “Menolong Orang yang Sakit” demi “Derajat yang Tinggi” dan “Kesejahteraan”. Inilah semangat GMIM atas kehadirannya di Tanah ini. Semangat ini kemudian berwujud pada aksi, yaitu melakukan pelayanan kesehatan, lewat pendirian rumah-rumah sakit dan pelayanan di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi. UKIT adalah salah satu perwujudan dari semangat penginjilan itu.
Dalam semangat-semangat itulah Fakultas Teologi, sebagai lembaga pendidikan tinggi milik GMIM (menyebut GMIM tentu bukan hanya soal elitnya) kemudian mengembangkan model berteologinya menjawab kebutuhan konteks. Paradigma berteologi pun terus dikembangkan mengikuti tantangan dan pergumulan zaman. Pada akhirnya, Fakultas Teologi UKIT, yang juga disebut sebagai “dapur teologi” gereja, dalam perkembangannya, selain memang masih sebagai lembaga pendidikan untuk mempersiapkan calon pendeta, tapi juga telah hadir dan memberi diri untuk melayani rose tanpa pandang SARA, dengan kemudian juga ikut mempersiapkan calon teolog.
Ini terkait dengan paradigma berteologi yang terus dikembangkan oleh Fakultas Teologi. Ketika kesadaran bahwa misi gereja harus diimplementasikan dalam konteks yang majemuk baik dari segi SARA, tapi juga pergumulan dan tantangan yang dihadapi, maka pendidikan teologi yang dikembangkan akhirnya juga harus memperhatikan konteks tersebut. Pluralisme agama, konteks budaya, social dan politik serta perubahan global, dipandang sebagai fenomena atau objek yang harus dikaji secara ilmiah dengan semangat iman Kristen. Ada sebuah dialog yang aktif antara perubahan-perubahan tersebut dengan iman Kristen, yang semangatnya adalah pembaruan, pembebasan dan pemerdekaan umat manusia dan alam.
Semangat pembaruan pemikiran ini diimplementasikan dalam kurikulum yang terus dikembangkan oleh Fakultas Teologi. Misalnya, di Fakultas Teologi, mahasiswa belajar sejarah, doktrin dan pemikiran keagamaan agama-agama lain, yaitu Islam, Budha, Hindu, Konghucu, serta agama Suku dan Kebatinan. Barangkali ke depan juga akan dipelajari agama Zoroaster, Sikh, Tao dan lain sebagainya sesuai dengan perubahan yang ada. Sejarah dan doktrin serta pemahaman keagamaan dari masing-masing agama dan kepercayaan itu dikaji secara ilmiah dengan prinsip-prinsip keilmuan, yaitu Objektif, Kritis, Metodis dan selalu diharapkan mahasiswa mampu melakukan refleksi teologis yang dialogis. Karena kajiannya ilmiah, maka capaiannya bukan soal benar-salah, selamat atau tidak selamat, melainkan pada penemuan pengetahuan yang dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan peradaban yang lebih baik.
Mahasiswa juga belajar sejarah gereja (Historika), dan tugas panggilan gereja di dalam dunia yang terus berubah (Misiologi), praktika, dogmatika, etika dan sudah tentu hermeneutika, yang semuanya berpijak pada usaha-usaha membaruai pemikiran Kristen untuk memajukan peradaban manusia dan alam yang lestari. Contohnya, di Fakultas Teologi ini, dipelajari secara khusus mata kuliah HIV/AIDS, Etika Lingkungan Hidup, Etika Politik, Etika Seksual, dan lain sebagainya. Semua kajian ini muaranya adalah teologi kontekstual, atau usaha memaknai secara teologis yang dialogis, nilai-nilai Injil dalam konteks yang terus berubah. Paradigma berteologi lama, yaitu yang hanya memfokuskan pada bagaimana usaha memperteguh keunggulan gereja secara lembaga yang kemudian hanya menghasilkan pemikiran keagamaan yang arogan tidak lagi menjadi perhatian. Sebab, kehadiran gereja di dunia dalam paradigma berpikir ini dipahami bukan pertama-tama untuk mendikte benar-salah, berdosa-tidak berdosa apa yang dipahami da dilakukan umat manusia, melainkan lebih kepada upaya memperbarui paradigma berpikir dan segala macam struktur-struktur yang menyebabkan manusia dan alam hidup terpuruk.
Dalam semangat-semangat keilmuan seperti ini, maka Fakultas Teologi mestinya menjadi dan harus dimaknai sebagai tungku pembaruan pemikiran Kristen di Minahasa dan
Tantangan
Refleksi ini saya tutup dengan catatan mengenai tantangan bagi GMIM dan bagi Fakultas Teologi itu sendiri. Sebab, di 74 tahun GMIM bersinode (30 September) dan 46 tahun Dies Natalis Fakultas Teologi UKIT (7 Oktober), harus jujur dan tulus diakui bahwa GMIM, Fakultas Teologi dan UKIT berada dalam berbagai macam tantangan, baik dari dari dalam maupun dari luar.
Fakta yang sudah jelas kepada rose , bahwa usaha untuk meningkatkan kualitas keilmuan berteologi Fakultas Teologi sekarang ini harus berhadapan dengan kemelut yang sedang menimpa UKIT. Sangat disayangkan, ketika pembaruan pemikiran Kristen telah menjadi agenda penting di Fakultas Teologi, tiba-tiba muncul kemelut yang tiada satupun kita menghendakinya. Lebih disayangkan lagi, ketika kemelut ini adalah sengaja di-design satu dua orang yang hanya mengejar popularitas dan kekuasaan di tingkat BPS, dan seolah-olah tanpa beban mengorbankan keutuhan GMIM. Inilah tantangan dari dalam Fakultas Teologi dan GMIM terkini.
Fakta atau persoalan ini mestinya direspon secara bijak oleh kita semua. Bahwa, kalau ini benar hanya karena persoalan nafsu berkuasa satu dua orang, maka jemaat GMIM yang tersebar hampir merata di tanah Minahasa harus memaknai ini sebagai persoalan GMIM secara keseluruhan. Yang kemudian akan kita hadapi bisa perorangan yang berusaha menzalimi orang atau pihak lain yang telah berproses sesuai aturan rose yang berlaku, maupun rose kelembagaan dan paradigma berteologi GMIM secara lembaga. Masing-masing orang memiliki cara untuk menyelesaikannya. Tapi, prinsip dan spiritnya mestinya selalu berlandaskan pada Kasih, dan kasih itu sendiri adalah Kebenaran, Keadilan dan Kebersamaan. Kebenaran dan Keadilan, janganlah dianggap hanya soal bahwa BPS secara subjektif telah menyatakan bahwa yang benar adalah pihak A dan yang salah adalah pihak B, melainkan kebenaran yang objektif dan rose situ: soal prosesnya, aturan hukumnya, dan prinsip kemanusian. Dan tujuannya dari rose situ haruslah tercipta kembali kebersamaan.
Tantangan berikut adalah soal perubahan zaman yang semakin cepat. Globalisasi semakin berbentuk di hampir semua aras kehidupan. Tapi globalisasi, mestinya adalah soal tantangan dan peluang. Globalisasi akan menjadi tantangan bahkan ancaman kalau kemudian model berteologi kita tidak melakukan kajian dan analisis yang kritis terhadap fenomena-fenomena yang tampak itu. Kerja tafsir dan usaha kontekstualisasi pemikiran teologi sangat penting untuk terus dikembangkan. Dan, kalau ini yang kita usahakan maka globalisasi kemudian akan mejadi peluang. Bukankah, GMIM yang ada sekarang adalah hasil proses dialetika sejarah, antara perjumpaan dunia Barat dengan Timur yang terjadi beberapa abad lampau yang merupakan masa-masa awal kelahiran globalisasi? Dengan kata lain GMIM secara lembaga lahir dan berada di Tanah Minahasa ini atas jasa pengglobalisasian dunia.
Selamat HUT GMIM Bersinode ke 74, dan Dies Natalis Fakultas Teologi UKIT ke 46.
*Dosen Fakultas Teologi UKIT